Thursday, November 18, 2010

Cinta Tidak Pernah Meminta

Aku bukan manusia suci
Yang mencintai Penciptanya tanpa berbagi
Aku manusia biasa
Yang nyata perlu cinta dari hati ke hati
(“Masihkah Senyum Itu Untukku”)
Ajarkan aku menjadi naif
Senaif dirimu yang mampu tersenyum dalam beban
Atau setidaknya ajarkan aku lagi
Untuk menerima tanpa harus hanyut
(“Masihkah Senyum Itu Untukku”)
Separuh nafas jiwaku kau minta
Aku coba berkaca pada air mata
Bertanya pada suara yang lelah
Apa aku masih punya yang kau minta?
(“Masihkah Senyum Itu Untukku”)
Mungkin canda akan serba nyata
Atau jelang senja lagi saat kita bersama
Tertawa, dan bermain mata
Cinta…? Sepertinya kan?
(“Masihkah Senyum Itu Untukku”)
Kuhadirkan kau ke dalam mimpi ini
Untuk setia mendengar cerita perjalananku
Tapi sampai saat ini kau hanya tersenyum
Padahal aku ingin kau menjawab
Mengapa aku masih harus mencintai kebaikan
Yang pada akhirnya juga akan sirna…
(“Masihkah Senyum Itu Untukku”)
Masalah hanyalah sebentuk bumbu di kehidupan manusia, tapi seperti juga dalam masakan. Kalau terlalu banyak bumbu juga tidak akan terasa enak.
Dan sekarang bumbuku juga terlalu banyak.
(“Masihkah Senyum Itu Untukku”)
Sosok biru menahan jiwa yang memang sudah ada
Sosok lama yang hadir serupa kabut senja
Aku tahu kau ada…
Untuk siapa ?
(“Masihkah Senyum Itu Untukku”)
Rasa memiliki itu seperti sel
Atau seperti fatamorgana ?
Dia akan pecah dari satu menjadi seribu
Tapi dia akan hilang kalau tersentuh sebelum waktu
Maka kita tetap harus menyimpannya
Suka atau tidak suka
(“Masihkah Senyum Itu Untukku”)
Alur sungai di pipi itu telah kering
Tapi dia mungkin akan kembali
Seiring waktu, seiring doa, seiring rasa
(“Masihkah Senyum Itu Untukku”)
Kenapa dunia tidak selalu seirama
Saat harap… Saat lepas…
Saat itu aku menggigil
Karena dia yang datang bukan yang aku minta
……
(“Masihkah Senyum Itu Untukku”)
Aku kangen…
Bukan padamu. Tapi pada jiwamu
Ketegaranmu. Kemisteriusanmu. Sosokmu
Tapi kau pilihanku.
(“Masihkah Senyum Itu Untukku”)
Tolong ceritakan padaku
Apakah cinta masih punya arti bagi kita?
Sedang nyata kita sudah terlelap
Dalam remang bilik yang kita bangun sendiri
(“Masihkah Senyum Itu Untukku”)
Izinkan aku kecewa dalam kepasrahanku ini
Kenapa aku tetap harus menyerah
Pada barisan teka-teki-Mu
Yang bernama takdir?
(“Masihkah Senyum Itu Untukku”)
Sering kutanyakan dalam hati
Mengapa kita semua harus terbangun
Dari ranjang mimpi yang kita pilih sendiri
Padahal aku enggan
Karena hidup, bagiku tak seindah mimpi
(“Masihkah Senyum Itu Untukku”)
Berikan aku waktu sejenak untuk bernapas di sini
Sebelum aku mati karena ikatan rindu
Sebelum aku pulang lagi ke tempat dulu
Sebelum… sebelum kau tahu
Aku masih yang dulu
(“Masihkah Senyum Itu Untukku”)
Tanya itu jadi satu di kalbu
Bersama rasa seirama surya
(“Masihkah Senyum Itu Untukku”)
Kini tapakku di atas dunia
Hantarkan puja pada-Nya
Seiring rasa…
Dan tanya yang seketika ada
(“Masihkah Senyum Itu Untukku”)
Ya Allah, sudah waktu satu pertiga malam
Betapa cepat waktu berlalu
Tapi hidupku begitu pula
Jika ini adalah ujian
Yang harus aku tempuh
Dengan tangan dan kaki yang lelah
Maka akan aku jalani semua dengan
Kesadaran tanpa batas
(“Masihkah Senyum Itu Untukku”)
Maka kiranya diri-Mu ya Allah
mencukupkan aku dengan segala ketentuan-Mu
Sungguh, segala rasa yang ada
hanyalah milik-Mu
“La haula walaa quwwata
illa billaahil ’aliyyul ‘azhim”
(Ria, “Masihkah Senyum Itu Untukku”)
Sebab cinta tetap cinta
Sebening telaga atau air mata surga
Sejalan dengan belati atau duri
Itulah cinta,
masih ada yang bertanya?
(“Masihkah Senyum Itu Untukku”)

No comments: