Aku bukan manusia suci Yang mencintai Penciptanya tanpa berbagi Aku manusia biasa Yang nyata perlu cinta dari hati ke hati (“Masihkah Senyum Itu Untukku”) | Ajarkan aku menjadi naif Senaif dirimu yang mampu tersenyum dalam beban Atau setidaknya ajarkan aku lagi Untuk menerima tanpa harus hanyut (“Masihkah Senyum Itu Untukku”) |
Separuh nafas jiwaku kau minta Aku coba berkaca pada air mata Bertanya pada suara yang lelah Apa aku masih punya yang kau minta? (“Masihkah Senyum Itu Untukku”) | Mungkin canda akan serba nyata Atau jelang senja lagi saat kita bersama Tertawa, dan bermain mata Cinta…? Sepertinya kan? (“Masihkah Senyum Itu Untukku”) |
Kuhadirkan kau ke dalam mimpi ini Untuk setia mendengar cerita perjalananku Tapi sampai saat ini kau hanya tersenyum Padahal aku ingin kau menjawab Mengapa aku masih harus mencintai kebaikan Yang pada akhirnya juga akan sirna… (“Masihkah Senyum Itu Untukku”) | Masalah hanyalah sebentuk bumbu di kehidupan manusia, tapi seperti juga dalam masakan. Kalau terlalu banyak bumbu juga tidak akan terasa enak. Dan sekarang bumbuku juga terlalu banyak. (“Masihkah Senyum Itu Untukku”) |
Sosok biru menahan jiwa yang memang sudah ada Sosok lama yang hadir serupa kabut senja Aku tahu kau ada… Untuk siapa ? (“Masihkah Senyum Itu Untukku”) | Rasa memiliki itu seperti sel Atau seperti fatamorgana ? Dia akan pecah dari satu menjadi seribu Tapi dia akan hilang kalau tersentuh sebelum waktu Maka kita tetap harus menyimpannya Suka atau tidak suka (“Masihkah Senyum Itu Untukku”) |
Alur sungai di pipi itu telah kering Tapi dia mungkin akan kembali Seiring waktu, seiring doa, seiring rasa (“Masihkah Senyum Itu Untukku”) | Kenapa dunia tidak selalu seirama Saat harap… Saat lepas… Saat itu aku menggigil Karena dia yang datang bukan yang aku minta …… (“Masihkah Senyum Itu Untukku”) |
Aku kangen… Bukan padamu. Tapi pada jiwamu Ketegaranmu. Kemisteriusanmu. Sosokmu Tapi kau pilihanku. (“Masihkah Senyum Itu Untukku”) | Tolong ceritakan padaku Apakah cinta masih punya arti bagi kita? Sedang nyata kita sudah terlelap Dalam remang bilik yang kita bangun sendiri (“Masihkah Senyum Itu Untukku”) |
Izinkan aku kecewa dalam kepasrahanku ini Kenapa aku tetap harus menyerah Pada barisan teka-teki-Mu Yang bernama takdir? (“Masihkah Senyum Itu Untukku”) | Sering kutanyakan dalam hati Mengapa kita semua harus terbangun Dari ranjang mimpi yang kita pilih sendiri Padahal aku enggan Karena hidup, bagiku tak seindah mimpi (“Masihkah Senyum Itu Untukku”) |
Berikan aku waktu sejenak untuk bernapas di sini Sebelum aku mati karena ikatan rindu Sebelum aku pulang lagi ke tempat dulu Sebelum… sebelum kau tahu Aku masih yang dulu (“Masihkah Senyum Itu Untukku”) | Tanya itu jadi satu di kalbu Bersama rasa seirama surya (“Masihkah Senyum Itu Untukku”) |
Kini tapakku di atas dunia Hantarkan puja pada-Nya Seiring rasa… Dan tanya yang seketika ada (“Masihkah Senyum Itu Untukku”) | Ya Allah, sudah waktu satu pertiga malam Betapa cepat waktu berlalu Tapi hidupku begitu pula Jika ini adalah ujian Yang harus aku tempuh Dengan tangan dan kaki yang lelah Maka akan aku jalani semua dengan Kesadaran tanpa batas (“Masihkah Senyum Itu Untukku”) |
Maka kiranya diri-Mu ya Allah mencukupkan aku dengan segala ketentuan-Mu Sungguh, segala rasa yang ada hanyalah milik-Mu “La haula walaa quwwata illa billaahil ’aliyyul ‘azhim” (Ria, “Masihkah Senyum Itu Untukku”) | Sebab cinta tetap cinta Sebening telaga atau air mata surga Sejalan dengan belati atau duri Itulah cinta, masih ada yang bertanya? (“Masihkah Senyum Itu Untukku”) |
Thursday, November 18, 2010
Cinta Tidak Pernah Meminta
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment